CERITA SEKS TERBARU | CERITA DEWASA | CERITA SEKS ABG | KAPANKAH. COM Memori yang tak dapat kulupakan. Namaku Ray, aku bekerja di sebuah harian ibukota. Baiklah ceritanya begini...
"Mas Ray..., aahh..., mmhhaahh..., Aahh..." Dia kelojotan. Kurasakan
lubang kemaluannya hangat, menegang dan mengejut-ngejut menjepit batang
kemaluanku.
"aahh..., gila..., Ini nikmat sekali..." Teriakku.
Malam itu tanggal 2 Juni 1999 sekitar pukul 21.30. Aku di dalam mobilku
sedang keliling-keliling kota Jakarta. Rencananya aku hendak meliput
persiapan kampanye partai-partai yang katanya sudah ada di seputar HI.
Aneh, kampanye resminya besok, tapi sudah banyak yang bercokol di
putaran HI sejak malam ini. Kelihatannya mereka tidak mau kalah dengan
partai-partai lain yang kemarin dan hari ini telah memanjat patung
selamat datang, memasang bendera mereka di sana. Tercatat pp, PND, PBB,
PKB, PAN dan PK telah berhasil. Dengan korban beberapa orang tentu saja.
Entah apa yang dikejar mereka, para simpatisan itu. Kebanggaan? Atau
sebuah ketololan. Kalau ternyata mereka tewas atau cedera, berartikah
pengorbanan mereka? Apakah para ketua partai itu kenal sama mereka?
Apakah pemimpin partai itu menghargai kenekadan mereka? Lho, kok aku
bicara politik. Biarinlah. Macam-macam saja ulah mereka, maklumlah sudah
saat kampanye terakhir
buat partai-partai di Jakarta ini.
Di depan kedutaan Inggris aku parkirkan mobilku, bersama banyak mobil
lainnya. Memang aku lihat ada beberapa kelompok, masing-masing dengan
bendera partai mereka dan atribut yang bermacam-macam. Aku keluarkan
kartu persku, tergantung di leher. Juga Nikon, kawan baik yang menjadi
sumber nafkahku. Aku mendekati kerumunan simpatisan partai. Bergabung
dengan mereka. Berusaha mencari informasi dan momen-momen penting yang
mungkin akan terjadi.
Saat itulah pandanganku bertemu dengan tatap mata seorang gadis yang
bergerombol dengan teman-temannya di atap sebuah mini bus. Wajahnya yang
cantik tersenyum kepadaku. Gadis itu memakai kaos partai yang mengaku
reformis,---aku rahasiakan saja baiknya---yang telah dipotong sedikit
bagian bawahnya, sehinggs seperti model tank top, sedangkan bawahannya
memakai mini skirt berwarna putih. Di antara teman-temannya, dia yang
paling menonjol. Paling lincah, paling menarik.
"Mas, Mas wartawan ya?" katanya kepadaku.
"Iya".
"Wawancarai kita dong", Salah seorang temannya nyeletuk.
"Emang mau?".
"Tentu dong. Tapi photo kita dulu..."
Mereka beraksi saat kuarahkan kameraku kepada mereka. Dengan lagak dan gaya masing-masing mereka berpose.
"Kenapa sudah ada di sini, sih? Bukankah ____ (nama partai) baru besok kampanyenya?".
"Biarin Mas, daripada besok dikuasai partai lain?".
"Memang akan terus di sini? Sampai pagi?".
"Iya, demi ____ (nama partai), kami rela begadang semalaman."
"Hebat."
"Mas di sini aja, Mas. Nanti pasti ada lagi yang ingin manjat tugu selamat datang." Kata gadis yang menarik perhatianku itu.
Aku pun duduk dekat mereka, berbincang tentang pemilu kali ini.
Harapan-harapan mereka, tanggapan mereka, dan pendapat mereka. Mereka
lumayan loyal terhadap partai mereka itu, walaupun tampak sedikit
kecewa, karena pemimpin partai mereka itu kurang berani bicara. Padahal
diproyeksikan untuk menjadi calon presiden. Aku maklum, karena tahu
latar belakang pemimpin yang mereka maksudkan itu.
"Eh, nama kalian siapa?" Tanyaku, "Aku Ray."
"Saya Diana." Kata cewek manis itu, lalu teman-temannya yang lain pun
menyebut nama. Kami terus bercakap-cakap, sambil minum teh botol yang
dijual pedagang asongan.
Waktu terus berlalu. Beberapa kali aku meninggalkan mereka untuk
mengejar sumber berita. Malam itu bundaran HI didatangi Kapolri yang
meninjau dan 'menyerah' melihat massa yang telah bergerombol untuk pawai
dan kampanye, karena jadwal resminya adalah pukul 06.00 - 18.00.
Saat aku kembali, gerombolan Diana masih ada di sana.
"Saya ke kantor dulu ya, memberikan kaset rekaman dan hasil photoku. Sampai ketemu." Pamitku.
"Eh, Mas, Mas Ray! Kantornya "x" (nama koranku), khan. Boleh saya menumpang?" Diana berteriak kepadaku.
"Kemana?"
"Rumah. Rumah saya di dekat situ juga."
"Boleh saja." Kataku, "Tapi katanya mau tetap di sini? Begadang?"
"Nggak deh. Ngantuk. Boleh ya? Gak ada yang mau ngantarin nih."
Aku pun mengangguk. Tapi dari tempatku berdiri, aku dapat melihat di dalam mini bus itu ada sepasang remaja berciuman.
Benar-benar kampanye, nih? Sama saja kejadian waktu meliput demontrasi
mahasiswa dulu. Waktu teriak, ikutan teriak. Yang pacaran, ya pacaran.
(Ini cuma sekedar nyentil, lho. Bukan menghujat. Angkat topi buat
gerakan mahasiswa kita! Peace!)
Diana menggandengku. Aku melambai pada rekan-rekannya.
"Diana! Pulang lho! Jangan malah..." Teriak salah seorang temannya.
Diana cuma mengangkat tinjunya, tapi matanya kulihat mengedip.
Lalu kami pun menuju mobilku. Dengan lincah Diana telah duduk di
sampingku. Mulutnya berkicau terus, bertanya-tanya mengenai profesiku.
Aku menjawabnya dengan senang hati. Terkadang pun aku bertanya padanya.
Dari situ aku tahu dia sekolah di sebuah SMA di daerah Bulungan, kelas
2. Tadi ikut-ikutan teman-temannya saja. Politik? Pusing ah mikirinnya.
Usianya baru 17 tahun, tapi tidak mendaftar pemilu tahun ini. Kami terus bercakap-cakap. Dia telah semakin akrab denganku.
"Kamu sudah punya pacar, belum?" Tanyaku.
"Sudah." Nadanya jadi lain, agak-agak sendu.
"Tidak ikut tadi?"
"Nggak."
"Kenapa?"
"Lagi marahan aja."
"Wah.., gawat nih."
"Biarin aja."
"Kenapa emangnya?"
"Dia ketangkap basah selingkuh dengan temanku, tapi tidak mengaku."
"Perang, dong?"
"Aku marah! Eh dia lebih galak."
"Dibalas lagi dong. Jangan didiemin aja."
"Gimana caranya?" Tanyanya polos.
"Kamu selingkuh juga." Jawabku asal-asalan.
"Bener?"
"Iya. Jangan mau dibohongin, cowok tu selalu begitu."
"Lho, Mas sendiri cowok."
"Makanya, aku tak percaya sama cowok. Sumpah, sampai sekarang aku tak pernah pacaran sama cowok. Hahaha."
Dia ikut tertawa.
Aku mengambil rokok dari saku depan kemejaku, menyalakannya. Diana
meminta satu rokokku. Anak ini badung juga. Sambil merokok, dia tampak
lebih rileks, kakinya tanpa sadar telah nemplok di dashboardku. Aku
merengut, hendak marah, tapi tak jadi, pahanya yang mulus terpampang di
depanku, membuat gondokku hilang.
Setelah itu aku mulai tertarik mencuri-curi pandang. Diana tak sadar,
dia memejamkan mata, menikmati asap rokok yang mengepul dan keluar
melalui jendela yang terbuka. Gadis ini benar-benar cantik. Rambutnya
panjang. Tubuhnya indah. Dari baju kaosnya yang pendek, dapat kulihat
putih mulus perutnya. Dadanya mengembang sempurna, tegak berisi.
Tanpa sadar penisku bereaksi.
Aku menyalakan tape mobilku. Diana memandangku saat sebuah lagu romantis terdengar.
"Mas, setelah ini mau kemana?"
"Pulang. Kemana lagi?"
"Kita ke pantai saja yuk. Aku suntuk nih." Katanya menghembuskan asap putih dari mulutnya.
"Ngapain"
"Lihat laut, ngedengerin ombak, ngapain aja deh. Aku males pulang jadinya. Selalu ingat Ipet, kalau aku sendirian."
"Ipet?"
"Pacarku."
"Oh. Tapi tadi katanya ngantuk?"
"Udah terbang bersama asap." Katanya, tubuhnya doyong ke arahku,
melingkarkan lengan ke bahuku, dadanya menempel di pangkal tangan
kiriku. Hangat.
"Bolehlah." Kataku, setelah berpikir kalau besok aku tidak harus
pagi-pagi ke kantor. Jadi setelah mengantar materi yang kudapat kepada
rekanku yang akan membuat beritanya, aku dan Diana menuju arah utara.
Ancol! Mana lagi pantai di Jakarta ini.
Aku parkirkan mobil Kijangku di pinggir pantai Ancol. Di sana kami
terdiam, mendengarkan ombak, begitu istilah Diana tadi. Sampai setengah
jam kami hanya berdiam. Namun kami duduk telah semakin rapat, sehingga
dapat kurasakan lembutnya tubuh yang ada di sampingku.
Tiba-tiba Diana mencium pipiku.
"Terima kasih, Mas Ray."
"Untuk apa?"
"Karena telah mau menemani Diana."
Aku hanya diam. Menatapnya. Dia pun menatapku. Perlahan menunduk.
Kunikmati kecantikan wajahnya. Tanpa sadar aku raih wajahnya, dengan
sangat perlahan-lahan kudekatkan wajahku ke wajahnya, aku cium bibirnya,
lalu aku tarik lagi wajahku agak menjauh. Aku rasakan hatiku tergetar,
bibirku pun kurasakan bergetar, begitu juga dengan bibirnya. Aku
tersenyum, dan ia pun tersenyum. Kami berciuman kembali. Saat hendak
merebahkannya, setir mobil menghalang gerakan kami. Kami berdua pindah
ke bangku tengah Kijangku. Aku cium kening Diana terlebih dahulu,
kemudian kedua matanya, hidungnya, kedua pipinya, lalu bibirnya. Diana
terpejam dan kudengar nafasnya mulai agak terasa memburu, kami berdua
terbenam dalam ciuman yang hangat membara. Tanganku memegang dadanya,
meremasnya dari balik kaos tipis dan bhnya.
Sesaat kemudian kaos itu telah kubuka. Aku arahkan mulutku ke lehernya,
ke pundaknya, lalu turun ke buah dadanya yang indah, besar, montok,
kencang, dengan puting yang memerah. Tanganku membuka kaitan BH
hitamnya. Aku mainkan lidahku di puting kedua buah dadanya yang mulai
mengeras. Yang kiri lalu yang kanan.
"Mas Ray, kamu tau saja kelemahan saya, saya paling nggak tahan kalo dijilat susu saya..., aahh...".
Aku pun sudah semakin asyik mencumbu dan menjilati puting buah dadanya,
lalu ke perutnya, pusarnya, sambil tanganku membuka mini skirtnya.
Terpampanglah jelas tubuh telanjang gadis itu. Celana dalamnya yang
berwarna hitam, menerawangkan bulu-bulu halus yang ada di situ. Kuciumi
daerah hitam itu.
Aku berhenti, lalu aku bertanya kepada Diana
"Diana kamu udah pernah dijilatin itunya?"
"Belum..., kenapa?".
"Mau nyoba nggak?".
Diana mengangguk perlahan.
Takut ia berubah pikiran, tanpa menunggu lebih lama lagi langsung aku
buka celana dalamnya, dan mengarahkan mulutku ke kemaluan Diana yang
bulunya lebat, kelentitnya yang memerah dan baunya yang khas. Aku
keluarkan ujung lidahku yang lancip lalu kujilat dengan lembut
klitorisnyana.
Beberapa detik kemudian kudengar desahan panjang dari Diana
"sstt... Aahh!!!"
Aku terus beroperasi di situ
"aahh..., Mas Ray..., gila nikmat bener..., Gila..., saya baru ngerasain
nih nikmat yang kayak gini..., aahh..., saya nggak tahan nih..., udah
deh..."
Lalu dengan tiba-tiba ia menarik kepalaku dan dengan tersenyum ia
memandangku. Tanpa kuduga ia mendorongku untuk bersandar ke bangku,
dengan sigapnya tangannya membuka sabuk yang kupakai, lalu membuka
zipper jins hitamku. Tangannya menggapai kemaluanku yang sudah menegang
dan membesar dari tadi. Lalu ia memasukkan batang kemaluanku yang besar
dan melengkung kedalam mulutnya.
"aahh..." Lenguhku
Kurasakan kehangatan lidah dalam mulutnya. Namun karena dia mungkin belum biasa, giginya beberapa kali menyakiti penisku.
"Aduh Diana, jangan kena gigi dong..., Sakit. Nanti lecet..."
Kuperhatikan wajahnya, lidahnya sibuk menjilati kepala kemaluanku yang
keras, ia jilati melingkar, ke kiri, ke kanan, lalu dengan perlahan ia
tekan kepalanya ke arahku berusaha memasukkan kemaluanku semaksimal
mungkin ke dalam mulutnya. Namun hanya seperempat dari panjang
kemaluanku saja kulihat yang berhasil terbenam dalam mulutnya.
"Ohk!.., aduh Mas Ray, cuma bisa masuk seperempat..."
"Ya udah Diana, udah deh jangan dipaksaain, nanti kamu tersedak."
Kutarik tubuhnya, dan kurebahkan ia di seat Kijangku. Lalu ia membuka
pahanya agak lebar, terlihat samar-samar olehku kemaluannya sudah mulai
lembab dan agak basah. Lalu kupegang batang kemaluanku, aku arahkan ke
lubang kemaluannya. Aku rasakan kepala kemaluanku mulai masuk perlahan,
kutekan lagi agak perlahan, kurasakan sulitnya kemaluanku menembus
lubang kemaluannya.
Kudorong lagi perlahan, kuperhatikan wajah Diana dengan matanya yang
tertutup rapat, ia menggigit bibirnya sendiri, kemudian berdesah.
"sstt..., aahh..., Mas Ray, pelan-pelan ya masukkinnya, udah kerasa agak perih nih..."
Dan dengan perlahan tapi pasti kudesak terus batang kemaluanku ke dalam
lubang kemaluan Diana, aku berupaya untuk dengan sangat hati-hati sekali
memasukkan batang kemaluanku ke lubang vaginanyana. Aku sudah tidak
sabar, pada suatu saat aku kelepasan, aku dorong batang kemaluanku agak
keras. Terdengar suara aneh. Aku lihat ke arah batang kemaluanku dan
kemaluan Diana, tampak olehku batang kemaluanku baru setengah terbenam
kedalam kemaluannya. Diana tersentak kaget.
"Aduh Mas Ray, suara apaan tuh?"
"Nggak apa-apa, sakit nggak?"
"Sedikit..."
"Tahan ya.., sebentar lagi masuk kok..."
Dan kurasakan lubang kemaluan Diana sudah mulai basah dan agak hangat.
Ini menandakan bahwa lend*r dalam kemaluan Diana sudah mulai keluar, dan
siap untuk penetrasi. Akhirnya aku desakkan batang kemaluanku dengan
cepat dan tiba-tiba agar Diana tidak sempat merasakan sakit, dan
ternyata usahaku berhasil, kulihat wajah Diana seperti orang yang sedang
merasakan kenikmatan yang luar biasa, matanya setengah terpejam, dan
sebentar-sebentar kulihat mulutnya terbuka dan mengeluarkan suara.
"sshh..., sshh..."
Lidahnya terkadang keluar sedikit membasahi bibirnya yang sensual. Aku
pun merasakan nikmat yang luar biasa. Kutekan lagi batang kemaluanku,
kurasakan di ujung kemaluanku ada yang mengganjal, kuperhatikan batang
kemaluanku, ternyata sudah masuk tiga perempat kedalam lubang kemaluan
Diana.
Aku coba untuk menekan lebih jauh lagi, ternyata sudah mentok...,
kesimpulannya, batang kemaluanku hanya dapat masuk tiga perempat lebih
sedikit ke dalam lubang kemaluan Diana. Dan Diana pun merasakannya.
"Aduh Mas Ray, udah mentok, jangan dipaksain teken lagi, perut saya udah
kerasa agak negg nih, tapi nikmat…., aduh..., barangmu gede banget sih
Mas Ray..."
Aku mulai memundur-majukan pantatku, sebentar kuputar goyanganku ke
kiri, lalu ke kanan, memutar, lalu kembali ke depan ke belakang, ke atas
lalu ke bawah. Kurasakan betapa nikmat rasanya kemaluan Diana, ternyata
lubang kemaluan Diana masih sempit, walaupun bukan lagi seorang
perawan. Ini mungkin karena ukuran batang kemaluanku yang menurut Diana
besar, panjang dan kekar. Lama kelamaan goyanganku sudah mulai teratur,
perlahan tapi pasti, dan Diana pun sudah dapat mengimbangi goyanganku,
kami bergoyang seirama, berlawanan arah, bila kugoyang ke kiri, Diana
goyang ke kanan, bila kutekan pantatku Diana pun menekan pantatnya.
Semua aku lakukan dengan sedikit hati-hati, karena aku sadar betapa
besar batang kemaluanku untuk Diana, aku tidak mau membuatnya menderita
kesakitan. Dan usahaku ini berjalan dengan mulus. Sesekali kurasakan
jari jemari Diana merenggut rambutku, sesekali kurasakan tangannya
mendekapku dengan erat.
Tubuh kami berkeringat dengan sedemikian rupa dalam ruangan mobil yang
mulai panas, namun kami tidak peduli, kami sedang merasakan nikmat yang
tiada tara pada saat itu. Aku terus menggoyang pantatku ke depan ke
belakang, keatas kebawah dengan teratur sampai pada suatu saat.
"Aahh Mas Ray..., agak cepet lagi sedikit goyangnya..., saya kayaknya udah mau keluar nih..."
Diana mengangkat kakinya tinggi, melingkar di pinggangku, menekan
pantatku dengan erat dan beberapa menit kemudian semakin erat...,
semakin erat..., tangannya sebelah menjambak rambutku, sebelah lagi
mencakar punggungku, mulutnya menggigit kecil telingaku sebelah kanan,
lalu terdengar jeritan dan lenguhan panjang dari mulutnya memanggil
namaku.
"Mas Ray..., aahh..., mmhhaahh..., Aahh..." Dia kelojotan. Kurasakan
lubang kemaluannya hangat, menegang dan mengejut-ngejut menjepit batang
kemaluanku.
"aahh..., gila..., Ini nikmat sekali..." Teriakku.
Baru kurasakan sekali ini lubang kemaluan bisa seperti ini. Tak lama
kemudian aku tak tahan lagi, kugoyang pantatku lebih cepat lagi keatas
kebawah dan, Tubuhku mengejang.
"Mas Ray..., cabut..., keluarin di luar..."
Dengan cepat kucabut batang kemaluanku lalu sedetik kemudian kurasakan kenikmatan luar biasa, aku menjerit tertahan
"aahh..., ahh..." Aku mengerang.
"Ngghh..., ngghh.."
Aku pegang batang kemaluanku sebelah tangan dan kemudian kurasakan
muncratnya air maniku dengan kencang dan banyak sekali keluar dari
batang kemaluanku.
Chrootth..., chrootthh..., crothh..., craatthh..., sebagian menyemprot
wajah Diana, sebagian lagi ke payudaranya, ke dadanya, terakhir ke perut
dan pusarnya.
Kami terkulai lemas berdua, sambil berpelukan.
"Mas Ray..., nikmat banget main sama kamu, rasanya beda sama kalo saya
gituan sama Ipet. Enakan sama kamu. Kalau sama Ipet, saya tidak pernah
orgasme, tapi baru sekali disetubuhi kamu, saya bisa sampai, barang kali
karena barang kamu yang gede banget ya?" Katanya sambil membelai
batangku yang masih tegang, namun tidak sekeras tadi.
"Saya nggak bakal lupa deh sama malam ini, saya akan inget terus malem ini, jadi kenangan manis saya"
Aku hanya tersenyum dengan lelah dan berkata "Iya Diana, saya juga, saya nggak bakal lupa".
Kami pun setelah itu menuju kostku, kembali memadu cinta. Setelah pagi,
baru aku mengantarnya pulang. Dan berjanji untuk bertemu lagi lain
waktu.